5 Catatan tentang Strategi Marketing Disney yang Berusia Lebih dari 60 Tahun!
Apakah strategi marketing yang berasal lebih dari setengah abad lalu masih relevan dengan masa saat marketers kini makin pusing dengan konten viral, engagement rate, dan mobile advertising?
Wham! Maaf yaa, sudah hampir satu bulan nih kami enggak sharing artikel baru di newsletter ini 😔
Alasannya, mulai dari kelamaan cari bahan untuk sebuah ide artikel, sampai akhirnya idenya keburu basi, sampai sudah diskusi panjang soal topik tertentu untuk ditulis, tapi ujungnya malah ngobrol ngalor ngidul ✌️😬
But anywayyy, senang banget ngeliat saat ini jumlah teman-teman yang subscribe ke newsletter ini makin banyak dibandingkan saat kami berbagi artikel terakhir tentang influencer marketing. Terima kasih yaa! Semoga kami juga jadi makin semangat berbagi!

OK! Jadi guys, beberapa hari kemarin ini, kami sempat ngobrolin tentang ramainya perbincangan Disney+ Hotstar bakal masuk Indonesia, rencananya 5 September mendatang. Intinya, akan nambah lagi pilihan untuk kita subscribe ke layanan streaming selain Netflix, Viu, Amazon Prime, dan lainnya.
Dikutip dari Detik, President The Walt Disney Company APAC, Uday Shankar, menyatakan kalau ini adalah langkah pertama layanan streaming Disney ini masuk ke pasar Asia Tenggara. Pertimbangannya, orang Indonesia tercatat tech-savvy, memiliki antusiasme terhadap konten, dan merupakan basis penggemar Disney terbesar di Asia Tenggara!

Nah, dari obrolan itu, kami jadi membahas soal, “Marketing-nya Disney tuh keren yaa!”
Selain mereka memang punya konten yang bagus, dan termasuk one of the most effective brand storytellers of the modern era, keampuhan marketing mereka juga terlihat dari catatan penghasilan bisnis the Walt Disney Company 2009-2019 yang relatif terus meningkat dari tahun ke tahun —berdasarkan catatan Statista.
Pada 2019 saja, Disney tercatat meraup penghasilan sampai setidaknya 69 miliar dolar AS; atau kira-kira seribu triliun rupiah; atau kalau dibeliin Kopi Susu Jadian di Dikolom, bisa dapet sekitar 35 miliar gelas lah 😐
Yaa intinya kami jadi penasaran, sebetulnya bagaimana formulasi strategi marketing Disney?

Kami pun mencoba menggali dan mencari tahu informasi ini. Karena, iya betul Disney memiliki produk yang juga bagus, tapi produk bagus tetap membutuhkan strategi pemasaran yang solid, kuat, dan berdampak terhadap pertumbuhan bisnis jangka panjang.
Dan setelah belasan tabs menelusuri strategi marketing Disney, kami menemukan (dari blog ini) chart yang menunjukkan informasi marketing framework, yang termuat berasal dari Walt Disney Productions, 1957; seperti bisa dilihat berikut ini:

😱😱😱
Untuk membahasnya, let’s unpack the elements in the image…
Di tengah chart ada Disney’s Theatrical Films yang merupakan poros atau produk utama Disney; sebut saja, entah itu film seperti Snow White and the Seven Dwarfs, atau the Lion King, atau Frozen, sampai berbagai film Disney Pixar.
Lalu, di sekitar poros itu, ada berbagai komponen yang bisa kita anggap sebagai channel pemasaran. Pada gambar, kita melihat ada:
Televisi;
Musik;
Buku dan komik;
Disneyland;
Sampai merchandise licensing.
Dan di antara poros dan berbagai komponen tersebut ada garis-garis yang menunjukkan korelasi atau fungsi, atau tujuan dari penggunaan semua channel tersebut, dan hubungannya dengan produk utama.
Berikut ini lima hal yang kami catat dari chart tersebut:

Pertama: Disney memiliki poros narasi yang kuat.
Dalam hal ini, produk filmnya. Kita bisa menempatkan salah satu film Disney (yang manapun) di tengah untuk menjadi porosnya.
Mungkin kita berpikir, relatif mudah untuk Disney mendapatkan poros narasi (story) untuk menjadi amunisi marketing-nya, karena produk mereka sendiri sudah berbentuk cerita atau film. Namun sebetulnya, apapun produknya, sangat mungkin merumuskan dan menentukan narasinya. Dalam dunia advertising, narasi yang menjadi poros ini biasanya disebut sebagai big idea-nya. 💡
Untuk Apple misalnya, mungkin narasi utamanya adalah “Think different.” Atau MasterCard bisa jadi membawa narasi “There are some things money can’t buy. For everything else, there’s MasterCard.” Atau Airbnb dengan slogan “Belong anywhere”-nya.

Kedua, garis-garis itu tidak satu arah.
Hubungannya bukan hanya dari poros ke luar, tapi ada juga garis hubung yang berasal dari channel ke dalam poros (produk utama); bahkan di antara channel.

Misal dari hubungan di antara film ke merchandise licensing:
Film → provides characters → merchandise licensing
Merchandise licensing → exploits → film
Koneksi di antara poros utama produk dan channel, atau bahkan antara channel ini masih terus mereka lakukan sampai sekarang; tentunya dengan kombinasi komponen atau medium yang lebih kompleks lagi.

Ketiga, dari saling silang garis hubung itu, Disney pada dasarnya melakukan: Cross-content support strategy dengan cara repurposing.
Mereka tidak hanya melakukan promosi film biasa ke berbagai channel, tapi mengemas ulang materi film ke berbagai format dan cara bercerita, berdasarkan channel tertentu.
Misal, mereka tidak hanya mempromosikan poster film dan tanggal tayang di billboard saja, tapi mereka membuat album musik dari film tersebut; mereka juga membuat spin-off ceritanya ke dalam bentuk buku cerita atau komik; dan sebagainya.
Hal ini masih terus mereka lakukan sampai sekarang, dengan penggunaan channel yang lebih beragam lagi; contohnya seperti Pixar Doodle Duel di Instagram ini.

Lalu keempat, semua komponen pemasaran tidak hanya berfungsi sebagai pendukung, tapi dikembangkan menjadi sumber penghasilan tambahan.
Atau setidaknya, untuk mendapatkan revenue yang bisa menutup biaya kegiatan pemasaran mereka. Sehingga, overall mereka tidak membuang uang untuk kegiatan marketing-nya. 👏👏👏
Contoh:
Televisi → penghasilan dari iklan.
Musik → penghasilan dari penjualan album.
Buku dan komik → penghasilan dari penjualan buku dan komik.
Disneyland → penghasilan dari penjualan tiket dan F&B.
Sampai merchandise licensing → penghasilan dari license fees.
Metode ini sepertinya masih terus dilakukan Disney sampai sekarang. Contoh lagi aja, hanya dari license fees misalnya, menurut catatan Bloomberg pada 2015, HANYA dari berbagai mainan Star Wars: The Force Awakens saja, Disney mendapatkan pemasukan sampai 5 miliar dolar AS!

Dan yang kelima adalah, Disney hanya fokus melakukan sendiri hal-hal yang mereka yakini sebagai kompetensi utama mereka. Selebihnya, mereka serahkan pada ahlinya.
Dalam hal ini, melalui chart berusia lebih dari 60 tahun itu, Disney tidak memproduksi sendiri merchandise untuk dijual. Mereka melakukan merchandise licensing dari bisnis lain yang ingin membangun usaha atas brand mereka; contohnya seperti mainan Star Wars: The Force Awakens tadi, atau Lego berikut ini:
Melalui salah satu ulasan di waltdisney.org, dijelaskan bahwa Walt sendiri pernah menyebut bahwa produksi atau manufaktur produk seperti pakaian, boneka, mainan dan lainnya tidak akan menjadi fokus Disney; namun jika ada yang ingin membangun bisnis atas produk film mereka, maka hal itu bisa dilakukan dengan model licensing. Mengutip Walt Disney sendiri, “Because, as usual, we still need the money…” 😌😌
Dari catatan lain juga, Disney, sejak dulu ingin hanya fokus pada produksi film dan konten televisi, musik, serta pengembangannya ke dalam format konten lain seperti komik. Maka itu, ketimbang repot memikirkan manufaktur merchandise, Disney lebih fokus mengarahkan energinya untuk membuat karya dan menguatkan komponen intellectual property rights (IP) terhadap karya-karya mereka, untuk kemudian menerapkan model licensing.

Nah, gitu jadinyaa… Intinya, secara umum rumus marketing Disney untuk mengembangkan dan menjaga pertumbuhan bisnisnya tahun ke tahun, dari (paling tidak) sejak 63 tahun lalu, kurang lebih begini:
Tells stories first, sells products second.
Gimana guys? Apakah kalian setuju? Apakah, menurut kalian konsep marketing Disney yang berusia lebih dari 60 tahun ini masih relevan?
Cool! Terima kasih yaa buat kalian yang sudah membaca edisi kali ini. Kalau misal ada yang pingin ngobrol lebih deep lagi tentang strategi marketing yang mungkin kami (di Leon Playgrounds) bisa bantu, silakan di-reply aja email ini yaa!
Have a great weekend all!

Leony & Sarah